“مَلِكِ النَّاسِ”
Artinya: “Raja para manusia”
Makna ayat:
Allah merupakan raja yang memiliki kekuasaan tertinggi atas manusia dan pengaturan yang sempurna.[1]
Walaupun di antara manusia ada raja-raja lain, hanya saja raja yang tertinggi adalah Allah tabaraka wa ta’ala.[2]
Kandungan penamaan Allah dengan “al-Malik” (Raja)
Penamaan Allah sebagai al-Malik menunjukkan tiga hal:[3]
Hal pertama: Kepemilikan Allah akan sifat-sifat agung raja. Berupa kesempurnaan kekuatan, kemuliaan, kemampuan, pengetahuan yang mencakup segala sesuatu, kebijaksanaan terbaik dan keinginan yang selalu terealisasikan. Allah juga memiliki kesempurnaan dalam pengaturan, kasih sayang, kekuasaan yang meliputi langit dan bumi, dunia dan akhirat.
Allah ta’ala berfirman,
“وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ”.
Artinya: “Hanya milik Allah-lah kerajaan langit serta bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. QS. Ali Imran: 189.
“لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ”.
Artinya: “Milik siapakah kekuasaan pada hari ini?”. Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. QS. Ghafir / al-Mukmin: 16.
Sifat-sifat sempurna di atas tentunya tidak dimiliki raja-raja selain Allah.
Kekuasaan mereka begitu terbatas dengan zaman dan tempat.
Pengetahuan mereka juga amat terbatas, bahkan ada di antara mereka yang hanya mengerti apa yang ada di dalam istananya saja.
Kasih sayang mereka pada rakyat amatlah terbatas, bahkan terkadang ada di antara mereka yang sama sekali tidak menyayangi rakyatnya, karena mereka hanya dijadikan sebagai ‘sapi perahan’.
Di antara buah yang akan dipetik jika memahami makna di atas; siapapun yang dikaruniai kekuasaan di dunia hendaklah mereka tidak sombong; karena sejatinya kekuasaan mereka amat terbatas.
Hal kedua: Seluruh makhluk merupakan hamba Allah ta’ala. Mereka semua membutuhkan-Nya dalam setiap urusan. Tidak ada seorangpun yang mampu keluar dari kekuasaan-Nya. Dan tak ada satu makhlukpun yang tidak memerlukan karunia-Nya.
Allah ta’ala berfirman,
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ . إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ . وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ”.
Artinya: “ Wahai para manusia, kalianlah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kalian dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kalian). Dan yang demikian itu tidaklah sulit bagi Allah”. QS. Fathir: 15-17.
Ini tentu berbeda dengan raja-raja selain Allah, yang amat membutuhkan bantuan orang lain. Baik itu para pengawal, prajurit, pembantu, atau bahkan rakyatnya pun amat mereka butuhkan. Karena tanpa adanya rakyat mereka tidak dianggap sebagai raja.
Di antara buah yang akan dipetik jika kita memahami makna ini; kesadaran bahwa amalan yang kita kerjakan tidak dibutuhkan Allah, justru sejatinya kitalah yang membutuhkan amalan tersebut.
Hal ketiga: Allah memiliki aturan yang pasti berjalan. Dia melakukan apapun di kerajaan-Nya sekehendak-Nya. Tidak ada yang bisa menghalangi keputusan-Nya. Meski demikian walau Allah menentukan dan berbuat apapun sekehendak-Nya, namun Dia senantiasa berbuat adil dan tidak pernah menzalimi para hamba-Nya.
“قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ”.
Artinya: “Katakanlah, “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sungguh Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau berikan rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan”. QS. Ali Imran: 26-27.
Tentu ini amat berbeda dengan aturan para raja lain yang seringkali tidak terlaksana. Belum lagi aturan-aturan yang mereka buat kerap mengandung kezaliman.
Di antara buah yang akan dipetik dengan mengimani hal tersebut di atas; apapun yang ditakdirkan Allah akan kita terima dengan lapang dada, karena takdir yang ditentukan itulah yang terbaik, dan Allah tidak akan mungkin menzalimi kita.
Faidah:
Qirâ’ah (cara membaca) ayat kedua surat an-Nas ini hanya satu yaitu: “malikin nâs” (مَلِكِ النَّاسِ); “ma” dibaca pendek, dan tidak bisa dibaca “mâlikin nâs” (مَالِكِ النَّاسِ); “mâ” panjang.
Berbeda dengan ayat keempat dari surat al-Fatihah; “Mâliki yaumid dîn” yang suku kata “ma”nya bisa dibaca panjang ataupun pendek.
Sebab ayat kedua dari surat an-Nas ini, jika “ma”nya dibaca panjang, alias “mâlikin nâs” maka maknanya akan senada dengan kalimat yang ada di ayat sebelumnya; “rabbin nâs”, sehingga tidak ada tambahan makna. Ditambah lagi qirâ’ah “mâlikin nâs” ini dikategorikan para ulama termasuk jenis qirâ’ah yang syâdz (ganjil).[4]